Selasa, 11 September 2007

Tadabbur Cinta Para Nabi

Peristiwa Keimanan
Pernikahan adalah sarana yang Allah berikan pada setiap insan yang berharap limpahan kebaikan. Allah menjanjikan sakinah (ketenangan), mawaddah (kerinduan), dan rahmah (kasih sayang) bagi mereka yang melangsungkan akad pernikahan. Melalui pernikahan akan terlahir berbagai kebaikan dan memadukan agenda perbaikan. Allah Maha Pemurah dan karena Kemahamurahan-Nya pula hamba-hamba-Nya dimudahkan untuk mendapatkan kemaslahatan yang lebih luas, seluas bentangan kasih sayang-Nya. Karena itulah pernikahan merupakan peristiwa keimanan.

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya, Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sungguh, dalam hal itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Berawal dari Negeri Akhirat
Namun segalanya harus bermula dari tujuan akhir, yakni kebaikan hidup di Negeri Akhirat. Karena di sanalah kehidupan yang sesungguhnya. “Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan permainan belaka, dan sesungguhnya kehidupan akhirat adalah sebenar-benarnya kehidupan, jika mereka mengetahui.” (QS. Al-Ankabut: 64)

Apa yang dilakukan manusia harus selalu dalam sandaran pada keridhaan-Nya. Pernikahan yang landasannya iman menjadikan cahaya cintanya adalah cinta yang dirahmati. Cinta insani ini pun yang mendapatkan curahan rahmat yang meninggikan derajatnya di negeri akhirat. Allah berfirman:

“Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menghendaki kesombongan di muka bumi dan tidak pula kerusakan. Dan akibat segala perbuatan itu kembali pada mereka yang bertakwa. Barangsiapa yang mendatangkan kebaikan maka baginya pahala kebaikan pula. Dan barangsiapa mendatangkan keburukan maka dia tidak akan dibalas selain dengan apa yang telah mereka perbuat.” (QS. Al-Qashash: 83-84)

Oleh karena itu tujuan pernikahan selain untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan di dunia juga adalah untuk kebahagiaan kehidupan panjang di negeri akhirat kelak. Pernikahan adalah salah satu di antara sarana Allah agar tiap individu dapat menjaga diri. Allah swt. menjanjikan bagi mereka yang menjaga diri dan takut pada kebesaran-Nya akan mendapatkan dua surga, surga di dunia dan surga di akhirat, bahkan di akhirat pun dijanjikan mendapatkan dua surga bersamaan yang masing-masing luasnya seluas langit dan bumi:

“Dan bagi orang yang takut pada Rabb-nya mendapat dua surga. Maka nikmat Tuhanmu manakah akan kau dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 46-47)

Sungguh sangat berat kehidupan pribadi maupun keluarga jika tidak disandarkan pada Dzat Allah. Laa haula walaa quwata illa billah. Allah-lah Sang Pemilik kehidupan ini, maka segala tujuan dan sarana yang diberikannya harus selalu dalam naungan kebergantungan diri pada Allah. Allah-lah tempat bergantung (QS. Al-Ikhas: 2)

Ujian Cinta
Tetapi Allah tidak begitu saja memberikan kenikmatan pada hamba-Nya tanpa mengujinya terlebih dahulu di dunia. Ibarat sebuah jalan, kehidupan pun tidak linier, ia berliku dan terkadang penuh onak duri. Satu jalan kebaikan kadang dilalui dengan lurus, tapi memasuki jalan lain ujian menimpanya. Hal itu terjadi untuk memunculkan potensi keistiqamahan yang dimiliki seorang hamba. Ia terjadi di berbagai aspek kehidupan yang dicita-citakan manusia—termasuk dalam hal kecintaan pada-Nya. Manusia yang tidak memiliki cita-cita, mungkin ia merasa hidup tanpa beban, tapi bagi mereka yang memiliki himmah yang tinggi, berbagai cobaan akan mengujinya. Apakah ia lulus ataukah gagal.

Ujian itu pula yang menimpa Yusuf, Musa, dan Sulaiman. Mereka para nabi mulia itu mendapat ujian yang sangat keras, bahkan lebih keras dari segala apa yang menimpa kita. Dan salah satu ujian mereka adalah ketika mereka diuji cinta. Al-Qur’an mencatat dan merekamnya agar menjadi ibrah bagi kita untuk menjalani ujian kehidupan ini.

Ketika Cinta Menguji Yusuf
Yusuf, sebagaimana dikisahkan secara utuh dalam satu surat al-Qur’an: surat Yusuf, ia menjalani kehidupannya secara berliku. Jika anda pernah membaca kisah-kisah novel terbaik di dunia, maka kisah Yusuf menempati posisi tertinggi dalam segalanya. Kisahnya mirip novel karena dirangkai dengan bahasa sastrawi (balaghah) yang tinggi, ia memuat berbagai kaidah sastra novel standard: seperti kisahnya diawali dengan cerita pembukaan yang membuat penasaran—mimpi matahari, bulan dan sebelas bintang bersujud padanya—dan diakhiri dengan jawaban atas penasaran itu dengan peristiwa memukau yang dapat meluruhkan air mata. Atau simbol–simbol tertentu yang menjadi jawaban atas tanda yang lainnya, seperti kain bajunya yang didustakan oleh saudara-saudara Yusuf dengan lumuran darah serigala, ternyata kain bajunya yang sobek pula yang menjadi bukti kebenaran bahwa Yusuf tidak bersalah ketika isteri al-Aziz menggodanya. Selain nilai sastrawi, juga karena sebaik-baik kisah ini dikisahkan oleh Sang Maha Terbaik. Wa qashashnahu ahsanul qashash.

Di setiap kisah novel selalu ada gelombang alur cerita yang terkadang membuat pembacanya terbawa emosi, sedih, marah, gembira, tertegun, bahkan ikut tegang dan hanyut dalam kisah itu. Begitu juga kisah Yusuf, ia penuh gelombang liku kehidupan yang sinematis dan bahkan menegangkan. Dalam kisahnya, ada lima posisi Yusuf dalam gelombang kehidupan itu tiga posisinya di atas dan dua posisi lainnya yang menunjukkan keterpurukan yang menyedihkan.

Posisinya yang menggembirakan yakni ketika ia dalam naungan kasih sayang dan cinta ayahnya. Mungkin kita menganggap itu adalah posisi aman, tapi justru dari sanalah ujian tiba yang menyebabkan Yusuf dilemparkan ke sumur akibat iri dengki saudara-saudaranya. Kita juga mungkin menyangka di kejatuhannya itu adalah sebuah kenistaan, tapi justru dari sanalah ia diangkat dan dibawa ke istana lalu dipelihara dan dibesarkan oleh keluarga al-Aziz.

Mungkin juga kita terjebak bahwa di posisi nyaman itu kisah hidup selesai, dan betapa bahagianya Yusuf yang dilempar ke sumur ternyata bisa hidup mewah di istana secara gratis. Kenyataan berbicara lain, ujian menimpa kembali ketika ia semakin beranjak dewasa dan cinta Zulaikha menggodanya—yang menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyah—hingga ke level syaghaf (cinta yang menggila) yang kemudian ia pun dijebloskan ke penjara.

Mungkin sebagian kita pun beranggapan Yusuf dalam posisi yang sangat buruk. Tapi justru dari penjaralah segalanya bermula: perubahan pun terjadi ia semakin dikenal sebagai seorang da’i dan pentakwil mimpi yang selalu tepat dengan kenyataan yang kemudian kabar tentangnya memikat hati raja untuk mengundangnya dialog dan akhirnya segera menjadikannya menteri kesejahteraan rakyat Mesir ketika itu. Dan makmurlah Mesir setelah melewati tujuh tahun masa-masa berat perekonomian dan sumber daya alam negeri itu.

Liku kehidupan dengan keragaman uji coba ini: dari ujian keluarga, ujian cinta, hingga ujian bangsa dan negaranya tidak membuat Yusuf jatuh terpuruk, malah semakin mengangkat derajatnya. Kisah Yusuf itu, sebagaimana ditafsirkan oleh Ulama Muda Ikhwanul Muslimin, Amru Khalid, dalam buku Pesona al-Qur’an, dipaparkan dalam satu surat secara utuh dan berangkai sistematis dengan menampilkan seluruh sisi kemanusiawiannya. Bahkan di surat 12 itu sosok Yusuf tidak ditampilkan sebagai seorang nabi, ia disebut nabi di surat al-Qur’an lainnya. Dalam kisah ini tidak sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan-persoalan manusia juga dapat dipecahkan secara rasional tanpa harus menunggu kehebatan turun dari langit. Dan satu hal yang konsisten dari pribadi Yusuf ini adalah akhlaknya yang tidak berubah. Ia bergerak mantap dengan akhlaknya yang mulia sekalipun diuji secara ekstrim baik oleh kebaikan maupun keburukan.

Ketika Cinta Menaungi Musa
Lain kisah Yusuf, lain pula kisah cinta Musa. Musa sebelum menjadi nabi telah mendapat ujian berat dari negerinya sebagaimana dikisahkan dalam ayat-ayat awal surat al-Qashash. Singkat cerita ia merasa bersalah karena terlibat dalam sebuah perkelahian, dengan dalih membela kerabatnya yang satu bangsa (Bani Israel) ia pun meninju mati lawannya dari bangsa keturunan Fir’aun. Setelah bertaubat atas kejadian itu, Musa dikabari akan dibunuh oleh pengawal Fir’aun dan ia pun lari hingga ke negeri Madyan. Di negeri Madyan inilah cinta Ilahi menaunginya.

Sesampai di Madyan, Musa melihat sebagian warga sedang memberi minum ternaknya, namun secara sadar ia pun memperhatikan dua wanita yang tidak pandai memberi minum ternaknya. Maka, segera setelah menanyai hal itu ia pun membantunya. Al-Qur’an merekam kejadian itu dengan menggunakan lafadz fa saqa bukan tsumma saqa (QS. Al-Qashash: 24) yang menunjukkan kesegeraan membantu keduanya tanpa menunda-nunda dengan dalih mencari perhatian. Musa bersegera pada inti persoalan: memberinya minum. Setelah itu al-Qur’an pun merekamnya kembali dengan kalimat tsumma tawalla iladz-dzilli (lalu Musa menyingkir ke tempat yang teduh) yang menunjukkan etika Musa tidak berlama-lama menunggu ucapan terima kasih dari mereka.

Dan Cinta-Nya menaunginya
Di tempat berteduh itulah lantas Musa berdo’a: “Ya Rabb-ku sungguh aku sangat membutuhkan kebaikan yang Engkau turunkan”. Setelah ia berdo’a maka datanglah dua wanita itu dengan malu-malu (25). Istihya’ atau rasa malu adalah sifat asli perempuan yang mencerminkan keterjagaan akhlak dan kepribadiannya. Mereka datang pada Musa karena diminta ayahnya, Nabi Syu’aib, untuk menghadap. Kisah ini penuh isyarat yang inspiratif. Perhatikanlah:

Nabi Syu’aib mendengarkan perjalanan ujian yang menimpa Musa hingga tuntas lalu dengan jiwa kebapakannya, ia menenangkan gundah gulana pemuda Musa itu dengan mengatakan: Jangan takut, engkau telah selamat dari orang-orang dzalim itu (25). Lantas puterinya secara diplomatis melobby ayahnya untuk mempekerjakan pemuda Musa itu padanya yang sudah tua renta (syaikhun kabir) sebagai pembantu, karena Musa dikenal sebagai pemuda yang terpercaya lagi kuat (26). Tapi Nabi Syu’aib paham arah pembicaraan puterinya itu ke mana, lantas ia pun mengungkapkannya pada pemuda Musa itu dengan lembut: “Aku ingin menikahkan kamu dengan salah satu puteriku ini dengan syarat engkau bekerja padaku selama delapan tahun, jika menggenapkannya sepuluh tahun itu lebih baik bagimu.” Seakan dialog ini menginspirasikan bagi mereka yang hendak menikahkan puterinya untuk siap juga menerima sang pemuda apa adanya dan membantunya untuk mampu mandiri hingga dalam jangka beberapa waktu. Tapi Musa tidak lantas menjadikan kemudahan itu sebagai ‘mahar’ pernikahannya, ia hanya ingin bahwa perburuhan dirinya pada Nabi Syu’aib hanyalah bentuk kontrak tersendiri antara dia dengan dirinya saja (28).

Subhanallah, cinta-Nya menaunginya. Setelah selesai masa bekerjanya, Musa pun bangkit kembali menebarkan dakwah dan melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Fir’aun yang lalim itu hingga tumbang. Keluarga (dan persaudaraannya dengan Nabi Harun as.) yang dibangun Musa dalam dakwahnya ini dapat saling bahu membahu hingga terbentuk formasi kekuatan gerakan dakwah yang kokoh dalam proses agenda tajdid (pembaharuan) agama dan bangsanya.

Ketika Sulaiman Menjemput Cinta
Jika Yusuf dikejar cinta (qad syaghafaha hubban) dan Musa membutuhkan cinta untuk kebangkitan kembali energi dakwahnya, maka kisah Sulaiman yang direkam secara utuh dalam 30 ayat surat an-Naml 15-44 memaparkan bahwa Sulaiman membangun kerajaan peradaban cinta hingga peradaban lain terpesona dan takluk dalam keagungan dan kebesaran dakwah Islamnya.

Dari 30 ayat itu, di akhir kisah Al-Qur’an merekam peristiwa keterpesonaan Balqis pada keagungan dakwah, kerajaan, karya peradaban, dan pribadi Sulaiman dengan ungkapannya yang terkenal: “Tuhanku, sungguh aku telah mendzalimi diriku sendiri dan aku berserah diri bersama Sulaiman pada Allah Tuhan Semesta Alam.” (QS. An-Naml: 44).

Kesalahan dirinya diakui, karena memang selama ini ia menyembah matahari dan berlaku angkuh atas ajakan dakwah Sulaiman dengan menghadiahi Sulaiman kekayaan yang bersifat material, sedangkan Sulaiman menolaknya karena sifat dirinya yang Rabbaniyah bahkan menyatakan apa yang diberikannya sangat kecil dengan apa yang diberikan Allah padanya, hingga membuatnya marah dan bersikap tegas pada Negara Balqis dengan mengancamnya akan didatangkan pada mereka balatentara yang tidak mampu mereka hadapi (laa qibala lahum), yang akhirnya menjadikan mereka harus datang menghadap Sulaiman.

Sedangkan ungkapan ‘aku berserah diri bersama Sulaiman pada Allah’ menunjukkan keterpesonaan Balqis secara pribadi pada Sulaiman agar ia dapat menjalankan agama barunya (Islam) bersama Sulaiman, tidak sendirian!

Bagaimanakah Sulaiman dapat menjadi pribadi unggul yang mempesonakan? Setidaknya ada lima belas pilar yang dipaparkan Al-Qur’an dalam surat ini. Kelimabelas pilar itu dapat diringkas dalam empat kategori, yakni:

A. Modal Dasar
Pilar Pertama, tradisi keilmuan yang kuat

Dan sesungguhnya Kami telah memberi ilmu pada Daud dan Sulaiman (15). Awal dari setiap keunggulan adalah tradisi ilmiah. Bahkan para pahlawan mukmin sejati selalu menyenandungkan kalimat indah ini: Bahwa di setiap kebangkitan peradaban selalu diawali dari kebangkitan pengetahuan. Demikianlah al-Qur’an merekam fakta kebenaran itu melalui sikap mereka terhadap karunia berharga yang Allah berikan ini pada mereka: “Segala puji bagi Allah yang telah melebihkan kami dari kebanyakan hamba-hamba-Nya yang beriman.”

Pilar Kedua, tradisi berguru dan pewarisan
Dan Sulaiman mewarisi keunggulan Daud (16). Perhatikanlah bagaimana susunan i’rab al-Qur’an-nya, Sulaiman menjadi fa’il atas Daud, bukan Daud yang serta merta menurunkan segala kehebatannya pada Sulaiman. Artinya Sulaiman sebagai generasi muda lebih proaktif untuk meningkatkan kapasitas dirinya untuk menyamai bahkan melebihi keunggulan generasi sebelumnya. Semangat yang dibangun Sulaiman inilah menjadi contoh berharga bagi kita sebagai generasi muda untuk memantik tradisi berguru pada orang-orang terbaik yang hidup di zaman kita, bahkan mempelajari khazanah Islam dan bangsa-bangsa yang ditinggalkan generasi sebelumnya dan yang paling mutakhir.

Pilar Ketiga, penguasaan bahasa asing
Dan dia berkata: “Hai manusia kami telah diberi pengertian bahasa burung (16). Keunggulan sebuah peradaban terletak kemampuannya menguasai bahasa bangsa lain. Dengannya bargaining position dirinya dapat meningkatkan reputasinya di kancah pergaulan global, dan karenanya pula ia tidak mudah ditertawakan atau direndahkan bangsa asing lainnya. Karena itu pula seakan ayat ini mengisyaratkan kita agar perlu dirancang program pengentasan buta bahasa asing di kalangan umat Islam, terlebih bahasa arab, bahasa induknya, bahasa al-Qur’an.

Pilar Keempat, kepemilikan asset dan sumber daya
Dan kami diberi segala sesuatu (16). Keberadaan sumber daya (resourches) dapat membuat diri kita dan bangsa ini tentunya memiliki kepercayaan diri untuk setara dengan bangsa-bangsa lainnya. Tradisi menjaga asset dan sumber daya perlu digalakkan dari mulai hal kecil seperti program menabung hingga kebijakan menjaga asset bangsa agar tidak dieksploitasi pihak asing yang membuat negeri ini sengsara.

B. Kompetensi Dasar
Pilar Kelima, manajemenship yang canggih
Dan dihimpun oleh Sulaiman, tentaranya dari jin, manusia dan burung, lalu mereka itu diatur dengan tertib (17). Sulaiman tidak sekedar unggul untuk pribadinya, melainkan juga mampu memimpin yang lainnya. Salah satu skill leadership itu adalah kemampuannya mengorganisir. Sulaiman bekerja secara professional dan benar-benar eksis memimpin bukan sekedar menjabat. Terbukti ia mampu mengorganisir anggota-anggotanya yang berbeda-beda potensi, tingkat kecepatan, dan kapasitasnya dengan rapi.

Pilar Keenam, kepekaan sosial yang tinggi
Sulaiman sebagai pemimpin, tidak mengatur di belakang meja dengan duduk manis betopang dagu. Ia adalah pemimpin sejati yang sangat peka terhadap rakyatnya. Ia membiasakan dirinya dan melatih bawahannya untuk selalu ‘turba’ (turun ke bawah) melihat kondisi riil masyarakatnya, diriwayatkan perjalanannya hingga ke tempat-tempat yang tandus, “hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Wahai semut-semut! Masuklah kalian ke sarang-sarangmu agar kamu tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan tentara-tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” Inilah yang harus dilakukan bagi mereka yang ingin unggul: mereka adalah orang-orang yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi dan mampu memadukannya dengan kearifan pada bahasa lokal yang dia temui.

Pilar Ketujuh, verifikatif dan investigatif
Mungkin kita sering mendapat masukan dan informasi mengenai banyak hal. Dalam menghadapi hal seperti itu, kita harus mampu melakukan verifikasi dan investigasi atas akurasi dan kebenarannya. Begitulah yang terjadi pada Sulaiman ketika ia mendapat informasi dari Hud-hud yang mengabarkan adanya kerajaan lain yang belum tersentuh dakwah dan mereka menyembah matahari. Maka Sulaiman menugaskan balik dengan memberikan surat ajakan agar masuk Islam dengan menyuruh Hudhud melontarkan surat itu yang sekaligus menguji akurasi dan kebenaran informasi Hudhud: Dia (Sulaiman) berkata, “Akan kami lihat, apa kamu benar atau termasuk yang berdusta (27). Pergilah dengan membawa suratku ini, lalu jatuhkan kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikan apa yang mereka bicarakan (28).”

Pilar Kedelapan, kreatif dan inovatif
Skill dasar lain yang harus dimiliki oleh orang yang menginginkan dirinya unggul adalah kemampuannya untuk kreatif dan tidak anti perubahan. Itulah yang dilakukan oleh Sulaiman ketika singgasana Balqis telah dipindahkan ke hadapan kerajaannya dengan cara memodifikasi bentuk kerajaannya. Dan Sulaiman berkata, “Ubahlah untuknya bentuk singgasananya; kita akan melihat apakah ia (Balqis) mengenalnya ataukah sudah tidak mengenalnya lagi.”

Pilar Kesembilan, kemampuan diplomasi
Sebagus apapun gagasan yang dimiliki seseorang tidak dapat dipahami audiens atau stakeholder jika tidak memiliki kemampuan komunikasi yang baik dan mempengaruhi, baik berupa komunikasi massa maupun diplomasi. Terlebih jika ia adalah seorang pemimpin, maka kemampuan diplomasi menjadi syarat mutlak yang harus dikuasai. Perhatikanlah dialog diplomatic yang dilakukan antar dua pemimpin Negara berikut ini:

Maka ketika dia (Balqis) datang ditanyakanlah (kepadanya), “Serupa inikah singgahsanamu?”
Agar ia tidak jatuh harga dirinya karena keterpukauannya pada kemampuan Sulaiman menduplikasi kerajaan serupa dengan mirip, Ia (Balqis) berkata, “seakan-akan itulah dia.” (42). Jawaban ini menunjukkan keraguan dan keheranan Balqis atas apa yang terjadi di hadapannya. Ia tidak percaya kalau singgahsananya yang baru ia tinggalkan sudah ada di lingkungan kerajaan Sulaiman. Jika ia mengatakan “Benar itu kerajaanku” berarti menunjukkan kekalahannya. Sebaliknya, jika ia menjawab “itu bukan singgahsanaku” dia telah berdusta, dan dia tidak kuasa memungkiri kemiripan singgasananya, hingga ia melanjutkan jawabannya dengan perkataan: “Kami telah diberikan pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (42)

C. Sikap Dasar
Pilar Kesepuluh, disiplin dan ketegasan

Pribadi unggul adalah orang yang memiliki disiplin. Ia memiliki jadwal-jadwal yang ditepatinya dalam waktu, amanah, dan berbagai aktivitas kesehariannya. Sebagaimana Sulaiman memberikan pelajaran berharga dalam sikap disiplin ini, ketika semua agendanya sudah terjadwal: Dan dia memeriksa burung-burung, lalu berkata, “Mengapa aku tidak melihat Hudhud, apakah ia termasuk yang tidak hadir?” Di samping itu juga ia seorang yang tegas atas perlakuan yang indisipliner jika ada pelanggaran yang terjadi. “Pasti akan kuhukum ia dengan hukuman yang berat, atau kusembelih, kecuali jika dia datang padaku dengan alasan yang jelas.” Dalam bahasa manajemennya: akan aku beri punishment atau aku pecat.

Pilar Kesebelas, loyalitas pada misi gerakan dakwah
Sikap dasar keunggulan pribadi seorang aktivis dan da’i adalah ketika 24 jam kehidupannya dalam koridor menjalankan misi dakwah. Hal inilah yang terjadi dalam diri Hudhud, walau ia meninggalkan rapat koordinasi di istana Sulaiman, perjalanannya ke luar negeri adalah dalam upaya perluasan dakwah. Terbukti komitmennya ketika ia menginformasikan fakta-fakta yang ada dan menganulir hal-hal yang diagungkan itu dengan membesarkan hanya Allah saja yang Maha Agung.

Pilar Keduabelas, mendahulukan musyawarah
Seorang pribadi unggul adalah mereka yang terlibat dalam amal jama’i dan memutuskan persoalan-persoalannya dengan musyawarah. Segalanya dipertimbangkan atas dasar mencapai kebaikan bersama, tidak mengedepankan ego atau semata menampilkan eksistensi diri. Inilah yang dilakukan Ratu Saba’ Balqis, ia memusyawarahkan persoalan krusial yang menyangkut eksistensi negaranya dalam hubungan internasional akibat tindakan dakwah Sulaiman. Begitu juga Sulaiman tidak serta merta menyerang Negara yang tidak menerima ajakan dakwahnya, tapi memusyawarahkannya di lingkungan kerajaan secara cermat dan bijak.

Pilar Ketigabelas, Rabbaniyah
Dari seluruh sikap yang ditampilkan, hal yang paling mendasar bagi keunggulan pribadi seorang pemimpin adalah sikap Rabbaniyah-nya yang menonjol. Ia tidak pragmatis dan bukan tipe materialis sama sekali. Ia lebih mengedepankan sisi Rabbaniyah sebagai hiasan akhlak dan perilakunya. Itulah yang dikedepankan Sulaiman ketika ia diberi hadiah kekayaan material oleh Balqis, bahwa apa yang diberikan manusia tidak seberapa jika dibandingkan dengan karunia yang Allah berikan padanya.

D. Daya Dukung
Pilar Keempatbelas, kecepatan dan teknologi yang canggih
Dalam kancah global, pribadi unggul tidak cukup hanya memiliki kepribadian yang istimewa, ia perlu dilengkapi dengan daya dukung iptek yang tentunya akan berdampak positif bagi perkembangan dakwah. Sulaiman pun demikian, perpindahan singgahsana Balqis dari Yaman ke Palestina dalam sekejap mata (qabla an yartadda ilaika tharfuka—sebelum engkau mengedipkan mata) menunjukkan adanya daya dukung kecepatan dan teknologi yang canggih. Dalam sebuah riwayat, yang menawarkan bantuan dengan kecepatan supersonic itu adalah manusia juga, bukan Ifrit yang menawarkan perpindahan singgasana itu sebelum Sulaiman berdiri dari tempat duduk (qabla an taquma min maqamika). Itu artinya sebuah peradaban akan tercipta bukan didasarkan pada kekuatan mistic bantuan jin melainkan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta persandaran diri pada Allah.

Pilar Kelimabelas, staf ahli dan pembantu yang terlatih
Daya dukung lain adalah adanya pembantu yang terlatih. Mereka yang mengemban amanah besar berhak mendapatkan bantuan yang proporsional. Kebesaran kerajaan Sulaiman dapat menggertak kerajaan lain hingga merasa inferior (wa hum shaghirun) adalah karena didukung dengan kekuatan pertahanan militer yang solid, kokoh, dan terlatih dalam sebuah Negara.

Begitulah Sulaiman, Balqis datang tanpa dijemput. Ia terpesona oleh kebesaran dakwah dan kerajaan Rabbaniyyah-nya yang dibangun Sulaiman. Mengapa Sulaiman menjemput masa depan seperti itu? Tiada lain karena ia telah menyiapkan dirinya dengan berbagai unsur keunggulan dalam diri dan kompetensi organisasi kerajaannya yang teruji secara lintas peradaban.

Barakallahu laka wa baraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fi khair
Akhirnya, sebuah pernikahan adalah gerbang menuju masa depan. Bahtera yang digunakan semoga dapat melalui ombak badai dan sentuhan angin sejuk yang menerpa kapal peradaban dengan mempelajari pengalaman masa lalu serta bimbingan al-Qur’an dan as-Sunnah. (Rijalul Imam)

Tidak ada komentar: